Rabu, 14 November 2012

Metamorfosa - PART 1


“Udah larut banget kok lo belum tidur juga sih Ri?” dia bertanya pada laki-laki yang memegang gitar di sebelah kursinya.

“Gue cuma tidur kalo gue ngantuk Va,” jawabnya ngasal. “Jadi mau tengah malem sekalipun, kalo nggak ngantuk ya nggak bakal tidur.”

“Tinggal bilang aja belum ngantuk. Lebih singkat.”

“Hehehe. Lo sendiri belum ngantuk?”

“Dikit lagi nih kayaknya, mata udah mulai pengen merem. Eh kacang rebusnya abis ya?” Dipilah-pilahnya tumpukan kulit kacang di atas piring. “Ah elo Ri kalo makan yang ginian lahap banget. Gue nggak disisain. Persis banget kayak....hehehehe. Gue nggak bilang monyet loh ya.”

“Itu barusan bilang...”

“Keceplosan! Hehehe.”

“Zzzzz...kalo emang lo laper gue cari cemilan ke luar deh. Mau?”

“Udah nggak usahlah. Udah ngantuk. Besok-besok lagi aja ya, gue meremin mata di kamar deh.” Kemudian beranjak dari kursi dan menuju pintu kamar di sebelah kanan. “Daah Ari.”

Laki-laki di kursi membalas dengan sebuah senyuman. Beberapa detik setelah pintu kamar si wanita di-klik diapun masuk ke kamarnya yang berseberangan. Ditaruhnya gitar di samping lemari pakaian sementara piring berisi kulit kacang rebus diletakkan begitu saja di lantai. Dia lalu merebahkan tubuh di tempat tidur. Satu tangannya meraih ke dalam tumpukan cucian kering di samping kasur, dan menemukan sebuah radio baterai dari dalamnya. Diiringi sayup-sayup noise gelombang frekuensi dari sela lagu yang diputar, dia pejamkan kedua matanya.

Begitulah dia malam itu.

Namanya Ariadi Ginting. Teman-temannya biasa memanggil dia Ari. Perantauan jauh dari pulau seberang Kalimantan. Teman-temannya banyak yang bertanya kenapa dia bisa memilih tinggal di Karawang. Dan dengan santainya dia akan menjawab seperti ini, "gue cuma terdampar kok, nanti juga mulai berlayar lagi."

**

"Tapi Ari nggak pernah kirim surat lamaran ke perusahaan di Karawang, Mah." Ucapnya sambil membolak-balik amplop surat panggilan kerja di tangan kirinya.

Wanita paro baya di sampingnya tersenyum, lalu menepuk pundaknya pelan.

"Kamu kan kepengen banget kerja di Jawa Ri, ya udah ambil aja kesempatan ini." Sarannya.

"Padahal Ari cuma ngirim lamaran ke Jakarta, tapi kok dapet panggilan dari Karawang," dia masih mengeluh.

"Ari, kita percaya Allah selalu bisa kasih jalan yang nggak diduga-duga buat hambaNya, termasuk kamu sekarang ini. Jadi, kamu nggak perlu ragu, Mama dan Abah selalu dukung kamu Nak. Sekarang siapin barang yang mau dibawa, besok kamu berangkat ke Jawa. Bangun cita-cita kamu di sana. Sementara di sini, biar Mama dan Abah bantu dengan doa," diakhiri dengan senyum tulus penuh harap.

"..."

"Iya Ma, besok Ari ke Jawa."

**

Kita hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu di dalam kereta yang sama. Dan untuk beberapa alasan, aku merasa seperti belum mengenalmu.

"Gue liat dengan mata kepala gue sendiri Indra, ada cewek yg tinggal di kamar seberang kita," kata Ari ngotot.

Yang dipanggil Indra, sedang asyik mengisi kolom-kolom Teka Teki Silang, cuma melirik sebentar ke arah pintu lalu menganggukkan kepala pelan.

"Iya," jawabnya datar.

"Ah lo pasti nggak percaya kan?" Ari mengambil lembar TTS dari tangan Indra, menaruhnya di atas tembok pembatas beranda. "Cewek berambut panjang, pake stoking item. Gue nggak salah liat Dul. Kemaren pagi ketemu kok, dia malah lempar senyum gitu ke gue."

Indra yang kali ini tampak kesal, meraih TTS nya.

"Gue udah di sini dua tahun Ri, dan samasekali nggak pernah ngeliat cewek yang lo ceritain itu," tandasnya.

"Jadi siapa dong cewek yang kemaren ketemu gue di situ?" menunjuk pintu kamar seberangnya.

"Anggep aja semacem jejadian kuntilanak."

Ari cuma mendesah pasrah, dan memutuskan berhenti melakukan debat.

Dalam hati dia sangat yakin, sosok wanita yang dilihatnya ini nyata. Kemarin pagi mereka bertemu ketika dia sedang asyik duduk di kursi depan kamarnya. Wanita itu, yang dijulukinya wanita berkaos kaki hitam, memang tampak normal dan sama seperti kebanyakan wanita lainnya. Cantik dan menginjak tanah.

Satu hal yang khas dari wanita ini, adalah stoking hitamnya. Dua kali mereka bertemu, dia selalu mengenakan stoking hitam. Dari sinilah lahir julukan wanita berkaos kaki hitam.

Pertemuan pertama mereka, terjadi setengah tahun yang lalu, di hari pertama Ari menghuni kamar paling ujung di kosan berlantai tiga ini. Pertemuan yang dingin dan jauh dari kesan spesial. Waktu itu sore hari, sekembalinya dari membeli makanan di warung, wanita berkaos kaki hitam sedang duduk memeluk lutut di depan pintu kamarnya. Ari sudah coba menyapa, tapi dia samasekali mengacuhkannya.

"Lo baru setengah tahun di sini Ri, gue lebih hafal siapa penghuni kamar-kamar di kosan ini," kata Indra yang mendadak kehilangan minat pada TTS nya. "Lagian kalo emang bener ada cewek di kamer itu, kenapa? Ada masalah sama lo?"

Ari gelengkan kepala. Mendadak dia terdiam. Teringat senyuman si wanita kemarin pagi. Ada sesuatu yang tidak bisa dilupakan dari pagi yang singkat itu.

"..."

"Mungkin gue jatuh cinta sama dia," ucapnya kemudian.

Dalam hati.

Senin, 12 November 2012

PROLOG


Dear Meva,

Waktu terasa berlalu begitu cepat ya. Empat tahun, tapi  kadang aku merasa ini seperti baru satu hari yang lalu kita berkenalan. Aku dan kamu, di bawah redup bulan separuh di beranda kosan kita, diantara dua kursi yang selalu menghadap ke arah matahari terbit.

“Ariadi Ginting,” ucap laki-laki di kursi sambil sodorkan tangan. “Lo bisa panggil gue Ari.” Sambil dengan senyuman ditarik di kedua ujung pipinya.

“Lo udah tau nama gue,” wanitanya menjawab dingin tanpa menoleh.

“...”

Teh hangat tawar dan kamu, adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalian ada dan saling melengkapi. Seperti juga hujan dan pelangi setelahnya, kamu dan aku, kita, ada untuk menuliskan hari-hari kita di secarik daun kelor. Untuk kemudian kita baca lagi saat kita merasa lelah dengan perjalanan panjang kita. Sekedar singgah mencari jejak senyum yang tertinggal di balik tembok itu.

“Ri, kalo gue jadi pelangi, lo mau jadi apanya?”

“Hmmm..” sambil salahsatu tangan menjulur ke bawah ujung atap, merasakan tetesan gerimis yang turun sore itu. “Gue jadi manusia biasa aja deh.” Dikibaskannya jarinya yang basah.

“Yah kok gitu? Nggak ada romantisnya banget! Jadi apa kek, langitnya, atau apa aja deh. Datar banget!” Dengan kedua tangan disilangkan di depan dada dan ekspresi wajah cemberut.

“Tapi buat gue,” jawab si lelaki. “Cukup jadi manusia biasa, biar gue bisa menikmati keindahan pelangi kapanpun gue mau.”

“...”

Aku dan kamu, kita dalam perjalanan yang sama. Kita bertemu di kereta yang sama. Berbincang dan tertawa bersama membunuh sepi yang melayang di kanan-kiri jendela kita. Coba perhatikan sejenak ke luar sana. Ada serumpun padi yg bergoyang ditiup angin. Ingatkah kamu, iramanya sama seperti padi di seberang kamar kita.

Dan coba perhatikan lagi,  bukankah saat ini kita sedang duduk bersama di sana?




[metamorfosa] SEPASANG KAOS KAKI HITAM